Senin, 25 Februari 2013

Hey Say JUMP fanfiction : "Air Langit"


Title : Air Langit
Author : Me
Naration : Chinen Yuri
Cast : Hey! Say! 7 and Hikaru Yaotome
Genre : one-shot, friendship
Disclaimer : I just own the plot

Hari itu hujan lagi, hingga langit menjingga hujan tak kunjung reda. Sedikit menyesal aku telah melarang Yuto untuk menungguku pulang karena aku ada tugas piket. Aku lupa payungku dibawa Yuto, sekarang aku harus menunggu dan berteduh sendirian didepan gedung sekolah. Kalau tau akan hujan begini aku tak akan menyuruh Yuto pulang lebih dulu.

Tentu aku mulai menggerutu dalam hati, menunggu bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan, apalagi sendirian. Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dari koridor , langkah kaki berlarian dan bercandaan beberapa laki-laki.

“Are?. Chii?”. Sapa si pria berambut coklat

“Yamada-san, Okamoto-san”. 

“Panggil saja aku Keito”.

“Yama-chan, panggil aku Yama-chan,oke?”

“Ba..baiklah”. Jawabku canggung.

Aku memang sekelas dengan mereka, tetapi aku tidak terlalu dekat dengan mereka. Mereka amat populer, Yamada dengan semua pesona di wajahnya dan Keito dengan kepintarannya dan bentuk badannya. Sedangkan aku begitu..tidak terlihat. Sehingga mengetahui mereka tau namaku sungguh suatu yang mengejutkan.

“Ayo pulang bersama kami”. Sahut Yamada sambil berlari menyusul Keito ke tengah hujan.

“eh? Aku tidak bawa payung”.

“Memangnya kami kelihatan bawa payung?”. Seru Keito.

Mereka lantas berlarian di tengah lapangan yang basah, berlarian kesana kemari bermain kejar-kejaran, sesekali mereka sampai terjatuh dan mengotori baju mereka, berguling-guling ditanah, seolah tak paham apa itu kotor dan basah. Mereka seperti bersinkronasi dengan hujan.

“Hey ayolah Chii,  hujan hanyalah air langit!”. Seru Yamada dari tengah lapangan.
Apa? Aku hujan-hujanan?. Aku yang setiap upacara harus digotong ke UKS ini, aku yang harus duduk dipinggir lapangan melihat teman-teman saat pelajaran olahraga ini, aku yang sudah terlahir lemah ini, mana mungkin hujan-hujanan tanpa harus bolos sekolah esok harinya. Lagipula aku telah berjanji pada Yuto untuk tidak hujan-hujanan. Dia sahabatku sejak SD, dia yang selama ini menjagaku, hingga terkadang terasa seperti ayahku, melarangku ini-melarangku itu. Tapi aku tau itu karena dia ingin menjagaku.

“Ini menyenangkan lho”. Keito mengulurkannya tangannya hendak mengajakku. Pria kekar dengan senyum malu-malu yang khas ini berhasil merayuku untuk bergabung.

Aah..perasaan apa ini?. Baru pertama kurasakan yang seperti ini, menyenangkan rasanya membiarkan tubuhku disiram air langit sambil berlarian bersama mereka. Diriku yang selama ini bersembunyi dari langit, hari ini merasakan airnya. Sinkronasi yang kulihat dari Yamada dan Keito, aku kini merasakannya sendiri. Aku bersenang-senang.

“CHII..!!!”.

Suara itu mengagetkan kami. Kami semua berhenti bermain untuk menoleh ke sumber suara. Yuto ! dia berdiri dengan muka sebal didepan gerbang sambil membawa payung. Aku tak tau dia akan menjemputku. Ini gawat !.

“Yuto..ma-maaf”.

“Ah, kau pengawalnya Chii !. kau  bergabunglah juga!!” Ajak Yamada.

“Aku bukan pengawalnya Chii..!! kalian tidak tau badan Chii lemah, kalian akan membuatnya sakit!”

“Ini menyenangkan lho!”. Keito mengatakan kaliamat itu lagi, seperti saat dia merayuku untuk bergabung. Tapi tak berhasil pada Yuto, meskipun sudah dikeluarkan jurus senyum malu-malunya. Akhirnya dia memutuskan untuk memaksa Yuto bergabung. Sekejap ia rebut payung Yuto dan membawanya berlari.

“Gorila nakal..! kalian dan bermain seenaknya, tingkah kalian seperti monyet lepas..!! terutama kau, kau gorilla nakal..!!”, Seru Yuto sambil berlarian. Sekarang dia lebih mirip ibu-ibu yang memarahi anaknya. Aku hanya tertawa melihat Yuto dikerjai seperti itu.

Tiba-tiba kurasakan tubuhku melemah, lututku bergetar. Aku berhenti sejenak untuk menyeimbangkan tubuhku, memastikannya baik-baik saja. Tanpa kusadari sebuah tangan yang hangat mendarat dikeningku.

“Chii..! astaga..kau payah sekali..! baru hujan-hujanan sebentar sudah demam”. Kata Yamada sambil memasang muka lucu yang menyebalkan.

Yuto berlari kearahku, membuat si gorilla berlari sendirian seperti gorilla lepas. Yuto mendorong tubuh Yamada hingga mundur beberapa langkah, lalu meraba panic wajahku.

“Tu kan..!! ini salah kalian, Chii jadi demam..!! ayo tanggung jawab..! “

“Ma-maaf…” Mereka tertunduk sambil bersenggol-senggolan satu sama lain.

“ka..kalau begitu kami akan mengantarnya pulang”. Sahut Yamada tiba-tiba.

Perkataannya barusan membuatku berdebar-debar, entah mengapa.

Keito menggendongku dipunggungnya, begitu lebar dan hangat. Atau aku yang terlalu kecil dan dingin?. Nyaman sekali, aku sempat berfikir untuk bisa tinggal dipunggung itu selamanya. Ada aroma sedap yang menyenggol hidungku saat aku menaruh kepalaku dibahunya, aku tak yakin, tapi mungkin bau mawar. Yamada berjalan mengiringi Keito sambil memayungiku, sementara Yuto tetap mengomel. Mereka semua berjalan tanpa payung diatasnya, hanya aku. Aku lemah. Tuhan, kau menciptakan makhluk yang lemah.

“Apa yang kau lakukan pada adikku, hah?!” . Mereka kena sembur kakakku sesampainya dirumah. Yuto mati-matian minta maaf karena merasa tak bisa menjagaku. Kakakku menyuruhnya harakiri.

“Hi..Hika-nii, tak perlu sampai menyuruh Yuto harakiri. Ini salahku, kau tak perlu marah pada mereka”

“Apanya yang tak perlu marah?. Hah?!”. Gertaknya sambil memukul pintu, membuat Yamada dan Keito tersentak. Yuto mungkin sudah biasa menghadapi kakakku yang galaknya minta ampun, tapi Yamada dan Keito jelas kaget.

“Ko-kowaii~”. Gumam Yamada

“Ini gara-gara kau mengajaknya hujan-hujanan. Kakak Chii ternyata seram sekali”. Balas Keito.

“Bawa kemari adikku..!!”.

Yah..aku harus turun dari punggung super nyaman itu.

Mereka hanya bisa tertunduk sambil menggaruk belakang kepala lalu pamit pulang setelah berkali-kali meminta maaf.

Esoknya aku memaksakan diriku berangkat sekolah, selain karena demamku sudah tak begitu tinggi, aku takut membuat mereka berdua merasa bersalah. Karena aku sendiri bersenang-senang saat itu.

Hujan datang lagi saat aku harus pulang sekolah. Aku diam sendirian didepan gedung sekolah menunggu Yuto tugas piket. Seperti Déjà vu atas hari kemarin, aku masih membayangkan senyum hangat Yama-chan dan senyum malu-malu Keito mengajakku bermain. Kalau bisa, aku ingin merasakan air langit membasahi tubuhku, sekali lagi.

“Pengawalmu mana?”. Tanya seseorang mengagetkanku.

Karena melamun aku tak sadar talah diapit oleh Yamada dan Keito.

“Yama-chan, Keito..? Bukankah kalian seharusnya hujan-hujanan?”

“Kalau kami bermain hujan-hujanan seperti kemarin kau akan ikut kami?”

Aku mengangguk mantap. Apapun untuk keceriaan seperti tempo hari..! meskipun harus sakit lagi.

“Kalau begitu kami akan disini saja bersamamu”. Sahut Yamada sambil tersenyum hangat padaku. Aku ingin bisa membungkus senyum itu untuk kubawa pulang.

“Tapi..kalian..”

“Begini juga menyenangkan lho”. Sahut Keito.

Air langit, saat ia datang, ia akan membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. Baik saat ia menyiramku atau tidak, karena aku sadar bukan bagaimana tubuhku disiram air hujan dan terselimuti dingin waktu itu, tapi bagaimana aku berada bersama mereka, tersiram kebahagiaan dan terselimuti kehangatan. Terimakasih, Yama-chan, Keito. 

-End- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar